Jakarta, 17 Juni 2025 — Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dijalani PT Pilar Putra Mahakam memasuki babak pelik. Meskipun dua kreditor utama telah menerima pelunasan utang, proposal perdamaian yang diajukan perusahaan tetap ditolak dalam Rapat Kreditor yang digelar di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada Kamis, 12 Juni 2025.
Kuasa hukum PT Pilar Putra Mahakam, Noviar Irianto, S.H., dari firma hukum Noviar Irianto & Partners (NIP) Law Firm, menyampaikan kekecewaannya atas hasil rapat tersebut. Ia menyebut bahwa penolakan proposal perdamaian oleh dua kreditor, yakni PT Meratus Advance Maritim dan PT Mitra Lautan Bersama, sangat disayangkan mengingat keduanya telah menerima pelunasan utang dari pihak debitor.
“Ini menimbulkan pertanyaan besar terkait itikad baik dalam proses PKPU. Bagaimana mungkin kreditor yang sudah dilunasi atau yang masih memiliki klaim yang sedang disengketakan di pengadilan tetap dihitung suaranya dalam voting dan bahkan menjadi penentu penolakan proposal damai,” ujar Noviar kepada media, di kantor NIP Law Firm, Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berdasarkan data yang disampaikan, tagihan PT Mitra Lautan Bersama sebesar Rp6,2 miliar telah lunas dibayar pada 15 April 2025, sedangkan tagihan PT Meratus Advance Maritim sebesar Rp4,37 miliar juga telah dibayarkan penuh pada 16 April 2025. Adapun sisa klaim Meratus senilai Rp5,67 miliar saat ini masih dalam proses gugatan di Pengadilan Negeri Surabaya dan belum memperoleh putusan hukum tetap.
Namun ironisnya, suara dari kedua kreditor tersebut tetap dianggap sah dalam proses voting, bahkan menjadi penentu utama ditolaknya proposal perdamaian.
Noviar Irianto juga menyampaikan dugaan adanya konflik kepentingan dalam perkara ini. Kedua kreditor yang menolak proposal diketahui merupakan bagian dari Meratus Group, yang diduga memiliki hubungan afiliasi atau struktur korporasi yang sama.
“Kami menduga ada motif bisnis di balik ini. Mereka adalah sister company yang mungkin memiliki agenda tersembunyi di luar hubungan utang piutang biasa,” tegas Noviar.
Menurutnya, PKPU tidak seharusnya menjadi alat tekanan untuk kepentingan bisnis tertentu, apalagi jika perusahaan debitor seperti PT Pilar Putra Mahakam sebenarnya masih dalam kondisi keuangan yang sangat sehat.
Noviar menjelaskan bahwa berdasarkan laporan keuangan terakhir per 31 Desember 2024, PT Pilar Putra Mahakam memiliki total aset sebesar Rp113,9 miliar, yang berarti jauh melebihi nilai klaim yang tengah diproses dalam PKPU.
“Dengan aset sebesar itu, perusahaan sebenarnya tidak sedang kolaps. Justru inisiatif damai ini seharusnya diapresiasi, karena menunjukkan iktikad baik debitor untuk menyelesaikan kewajibannya secara elegan dan bertanggung jawab,” katanya.
Firma hukum Noviar Irianto & Partners sendiri telah mengupayakan berbagai jalur hukum. Salah satunya adalah mengajukan permohonan pencabutan PKPU ke pengadilan pada 28 Mei 2025, sebagai bentuk protes atas indikasi ketidaknetralan dalam proses tersebut.
Namun langkah tersebut tidak menghentikan proses voting. Proposal perdamaian tetap dibawa ke rapat kreditor dan ditolak oleh suara mayoritas — di antaranya dari dua pihak yang menurut Noviar sudah tidak memiliki dasar klaim aktif karena pembayaran telah diselesaikan.
“Kami tetap percaya bahwa proses hukum akan menghasilkan keadilan pada akhirnya. Tapi kondisi seperti ini berbahaya bagi dunia usaha jika dibiarkan terus terjadi. PKPU bisa menjadi alat manipulasi bisnis, bukan mekanisme penyelamatan sebagaimana mestinya,” pungkas Noviar.
Kasus ini kini menjadi perhatian di kalangan profesional hukum dan pelaku usaha, karena menyangkut prinsip keadilan dan integritas sistem PKPU. Apakah kreditor yang telah menerima pelunasan masih layak memberi suara? Apakah sengketa hukum yang belum diputus bisa menjadi dasar klaim aktif?
PT Pilar Putra Mahakam, melalui kuasa hukumnya, menyatakan akan terus berjuang melalui jalur hukum untuk memastikan bahwa proses yang berlangsung mencerminkan asas keadilan dan tidak dijadikan alat permainan oleh pihak-pihak tertentu.
Narasumber: Boy San
Pewarta: Egha / H. Widi
Editor: Egha