BANDA ACEH – Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Aliansi Mahasiswa Antikorupsi Aceh, Mahmud Padang, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa keterlibatan Irwan Djohan terkait dugaan korupsi pengadaan kapal Aceh Hebat yang menelan anggaran mencapai Rp 178 miliar dan proyek pembangunan 12 ruas jalan senilai Rp 1,2 triliun.
Mahmud mengungkapkan bahwa indikasi mega korupsi ini dapat ditelusuri dari awal proses pengaturan anggaran hingga penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara legislatif dan eksekutif. Salah satu pihak legislatif yang menandatangani MoU tersebut adalah mantan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Irwan Djohan, meskipun sudah ada rekomendasi dari Komisi IV DPRA yang menolak penganggaran proyek tersebut.
Menurut Mahmud, kasus ini sebenarnya sudah mulai diselidiki oleh KPK, namun hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai hasil penyelidikannya. “Kami mendesak agar KPK segera menuntaskan penyelidikan ini untuk mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi masyarakat Aceh,” tegas Mahmud.
Mahmud juga meminta Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) untuk mengusut kasus ini dari awal. Menurutnya, penanganan oleh Kejagung sangat penting demi menjaga citra instansi penegak hukum di Indonesia. “Publik akhir-akhir ini dapat melihat pembongkaran kasus mega korupsi di Indonesia yang dilakukan oleh Kejagung dengan sangat masif dan patut diacungi jempol. Oleh karena itu, kita berharap Kejagung dapat turun tangan dan menuntaskan pengusutan indikasi mega korupsi di Aceh ini,” harapnya.
Ia menekankan bahwa Kejagung harus memeriksa Irwan Djohan dan mengusut adanya dugaan gratifikasi dalam penandatanganan MoU tersebut. Mahmud mencurigai adanya barter penambahan pokok pikiran (pokir) atau pemberian uang sebagai bentuk gratifikasi. “Semua kemungkinan itu bisa saja terjadi,” ujarnya.
Menurut Mahmud, keberanian Irwan dalam menandatangani MoU proyek tersebut sangat dipertanyakan. Padahal, Komisi IV DPRA sudah dengan tegas menolak penganggaran proyek tersebut. “Ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan publik mengenai apa yang sebenarnya melatarbelakangi penandatanganan MoU ini dan mengapa prinsip kolektif kelembagaan diabaikan,” imbuhnya.
Mahmud menambahkan bahwa tindakan ini tidak hanya merugikan masyarakat Aceh tetapi juga merusak citra kelembagaan DPRA. “Ini adalah masalah serius yang memerlukan perhatian penuh dari semua pihak terkait. Kami tidak ingin ada pihak yang merasa kebal hukum dan melakukan tindakan koruptif seenaknya,” tandas Mahmud.
Mahmud berharap bahwa dengan adanya perhatian dari KPK dan Kejagung, kasus ini dapat diselesaikan dengan transparan dan adil. “Masyarakat Aceh berhak mendapatkan kejelasan dan keadilan atas kasus ini. Kami akan terus mengawal proses ini hingga tuntas,” tegasnya.
Dengan adanya kasus ini, Mahmud juga mengajak seluruh elemen masyarakat dan mahasiswa untuk terus bersatu dalam memerangi korupsi. “Korupsi adalah musuh bersama. Hanya dengan bersatu kita bisa memberantas korupsi dari akar-akarnya dan menciptakan pemerintahan yang bersih serta berintegritas,” tutupnya.
orang bayaran itu